Sabtu, 11 Februari 2012

Seri Hikmah "Ini Ceritaku, Apa Ceritamu??"

Pertengahan tahun 2006.
Menjadi tahun perubahan bagiku. Aku yang tomboy, rajin berkelahi. Rajin memamerkan aksi tinju dan tendangannya ke tubuh lawan yang semuanya laki-laki, tiba-tiba berubah. Perubahan drastis yang mengherankan bagi keluargaku. Sebuah perubahan yang membawaku ke dunia yang tidak pernah ku kenal sebelumnya, karena yang ku tahu hanya mengamuk, berkelahi, main-main, dan ingin menang sendiri.

Sore itu, sepulang dari rumah kenalanku. Ku bawa 2 contoh seragam sekolah ke hadapan mama. Seragam putih abu-abu dan seragam pramuka, dengan niat beliau merestui pilihanku. Ya, pilihan menjadi seorang muslimah yang ingin menggugurkan satu dari sekian kewajiban yang dibebankan Allah padanya. Pilihan untuk menutup aurat dengan sempurna.

Rona senyum dari wajah yang ku muliakan itu berubah. Saat ku sampaikan niatku, untuk mengenakan Jilbab dan Kerudung. Pakaian yang menjadi identitas bagi muslimah dan harus selalu ia kenakan di kehidupan umumnya. Ku pamerkan seragam terusan itu pada mama, dan mengatakan “ini Jubah seragam Ma, Insya Allah juga akan di buat Jubah olahraga dan sasirangannya”. Dengan kepolosanku, yang saat itu belum memahami perbedaan Jilbab dan kerudung. Karena keinginan memakainya telah ku azzamkan bahkan sebelum aku mendapatkan pemahaman tentangnya.
Samar-samar terdengar jelas.

Meskipun pelan, namun suara parau beliau seperti halilintar di siang bolong bagiku. Tidak pernah sekali pun beliau mengatakan hal itu. Meskipun saat aku berhasil membuat menangis anak tetangga, karena menampar rahang wajahnya tepat di depan rumahnya, atau saat ku benturkan kepala anak tetanga lainnya ke pagar besi rumahnya tepat di depan mama dan kakaknya. Atau saat aku pernah menendang dan membuat jebol seng rumahku, atau setiap tanganku berdarah untuk kesekian kalinya karena hukum III Newton yang ku terapkan antara tangan dan dinding atau seng rumahku . Ataupun saat aku menampar perut kakak ku yang saat itu sedang mengandung anak pertama. Tidak pernah sekalipun mama berkata seperti itu padaku. Mama hanya menganggapnya sebagai kenakalan biasa anak remaja, meskipun perasaan khawatir dan ketar-ketir kerap beliau rasakan. Namun saat itu, orang yang paling ku harapkan dukungannya, berbalik dan berbeda jauh dengan pendapatku.

“kalau kamu memang sudah tidak lagi menganggap yang ada di hadapanmu ini mama, maka terserah kamu saja dan tidak perlu lagi mendengarkan mama. Mama tidak akan memperdulikannya..” mama menjauh.
Aku terdiam dan menangis, sambil beristighfar. Mama maafkan anakmu, tak sedikitpun keinginan ku ini ingin menyakiti hati mu bahkan menambah rentetan panjang kesedihan mu terhadap tingkahku selama 16 tahun ini. Kebulatan tekadku mengendur, kerasnya kepalaku pun perlahan mencair. Kenapa di saat seperti ini aku tidak punya kata yang biasanya ku sampaikan untuk mematahkan pandangan semua orang yang berbeda dengan ku.

 “Seperti teroris”
“Lebih baik kamu jadi anak jahat kemudian baik, dari pada jadi baik tapi kemudian berbalik menjadi orang yang jahat” hardik ayah
“Jangan keterlaluan dan berlebih-lebihan dalam agama”
“Ini Indonesia, sadarlah nak..tidak ada yang mau mempekerjakan jika bajumu seperti itu..”
“kenalan Ayah yang dulunya pakai cadar, bukan hanya melepaskan cadarnya, bahkan sekarang merokok dengan memakai rok mini”
“kamu mau dapat suami seperi apa?, dengan janggut dan sorban dan celana cingkrang yang tidak jelas masa depannya??”

Ayah yang biasanya membela dan hampir selalu berada di pihak ku, seolah tidak memberikanku kesempatan untuk menjelaskan perubahan dan pilihan yang ingin ku jalani saat ini. Bukan karena paksaan Yah, tapi karena sebuah kesadaran sebagai seorang hamba yang harus selalu taat pada perintahNya jeritku dalam hati. Aku yang di kenal kuat dan pemberani, seolah gagu dan tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan.

“Ya Allah Ya Rabb, permudahlah jalanku untuk mendekat padaMu.. kuatkan hatiku, perkokoh Azzamku..Jauhkan keragu-raguan dalam hatiku” pintaku dalam setiap sujud dan do’aku.

Meski masih dalam pertentangan,  Allah memudahkan langkahku untuk mengenakan Jilbab dan Kerudung. Tidak hanya saat di luar rumah, seragam sekolah dan baju olahraga pun ku buat terusan. Izin pihak sekolah dan guru olahraga sudahku dapatkan, namun Allah masih menguji kesungguhan hatiku untuk berubah dan bertahan di jalan ini.
Di sekolah. Sebagai orang yang pertama kali mengenakan seragam terusan, Aku 2 kali di permalukan di tengah lapangan. Perkara saat itu, aku tidak mengenakan kerudung dengan cap nama sekolahku. Kerudung yang berbeda dari siswi lainnya, yang sengaja ku kenakan karena lebih lebar dari kerudung sekolahku. Pernah di paksa di buka di tengah lapangan oleh pihak sekolah. Tapi, Allah menyelamatkanku, aku berhasil kabur dan menyelamatkan diri.
Kemudian hari berikutnya. Selesai upacara, saat pemeriksaan kelengkapan seragam. Salah satu guru menarik dan memaksa membuka seragamku yang Alhamdulillah di dalamnya masih ada kain untuk menyambungkan ke rok abu-abuku juga masih ada Shobbunku. Semua mata tertuju padaku, karena saat itu aku berada tepat di tengah lapangan sekolah. Ibu guru bingung dengan seragam yang ku kenakan. Dan salah satu dari mereka mengatakan

 “Kamu sudah memberikan contoh yang tidak pantas pada adik-adik kelasmu!” “silakan bergabung dengan mereka” beliau menunjuk siswi-siswi yang akan di kenakan sangsi dan point. Dengan tegas pihak sekolah akan memanggil orangtua dan menskorsku karena pakaian yang ku kenakan.

          Aku menangis,  kepantasan yang seperti apa yang harus kucontohkan pada mereka?. Apakah dengan mengenakan rok ketat sepinggul? Atau dengan berkerudung, tapi dahiku terlihat poni dan di punggung masih tergerai rambutku? Jeritku dalam hati.

          Allah masih mengujiku. Sebagai anak ke 6 dari 8 bersaudara. Di hasilkan oleh didikan yang keras, tentu aku bukan anak satu-satunya dengan perangai keras kepala. Sering sekali aku lari, sesaat setelah teman kakakku, atau tamu yang langsung masuk rumah tanpa permisi, konsekuensi dari rumah ketua RT jawab Ayah saat ku minta untuk menegur mereka yang masuk tanpa permisi kerumah. Tidak bisa di hitung dengan jari, karena sudah kesekian kalinya aku lari dan bersembunyi sambil menangis karena tidak ada seorang pun dari keluargaku yang sepaham, bahwa ada anak gadisnya, ada adik gadisnya yang harus menutup aurat ketika ada orang yang bukan mahromnya. Bahkan aku di sidang oleh keluargaku, dengan alasan “tidak menghargai dan menghormati tamu”. Hujatan, kemarahan dan makian tertuju padaku di kursi pesakitan. Aku menangis sejadi-jadinya, apalagi saat tamparan mendarat ke wajahku dari salah seorang kakak laki-lakiku. Yang membuatku tidak bisa makan selama berhari-hari. Akan membakar dan membuang Jilbab dan Kerudung, menjadi salah satu acaman untukku.

 “Kura-Kura berjalan”
“Karung berjalan”
“Batosai berjalan”
“Ubur-Ubur berenang”

Dan seterusnya adalah perkataan yang hampir setiap hari ku dengar dari siswa-siswi di sekolahku. Yang hanya ku anggap sebagai angin lalu. Di remehkan karena menggunakan jilbab olahraga, di anggap tidak mampu optimal bergerak. Menjadi salah satu motivasi bagi ku untuk membuktikan pada mereka, bahwa aku mampu. Dalam pengambilan nilai olahraga, aku hampir selalu mendapatkan nilai yang terbaik. Perolehan menit saat lari 10x mengelilingi lapangan yang kebanyakan kawan-kawanku dapatkan selama 10-12 menit, aku raih dengan 6 menit. Aku ingin membuktikan, bahwa terikat dengan hukum Allah tidak akan menyulitkan. Karena sesungguhnya Allah lah yang paling tau aturan yang tepat untuk hambaNya.

          Sudah 5 tahun berlalu. Allah memudahkanku untuk melewati sedikit dari apa yang bisa ku ceritakan tentang perjalanan jilbabku. Keluargaku sudah menerima pemahamanku, bahkan mendukng aktivitas yang ku lakukan. Dan sekarang Allah mengujiku dengan ujian yang berbeda. Dan tentu aku yakin, kalian juga punya cerita berbeda dan ujian yang berbeda pula. Satu hal yang pasti, ujian itu adalah sebuah keniscayaan, cara Allah menunjukan cinta kepada hambaNYa. Maka, raihlah cinta itu dengan berprasangka baik dan tetap berada dalam tuntunan agamaNya. Wallahu musta’an

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolonganAllah itu amat dekat.”
[TQS Al Baqaroh ; 214]

Jilbab=pakaian kurung panjang yang tidak berpotongan
Shobun = pakaian rumah,  yang biasa di kenakan di rumah.

Depan computer, ditemani Murotal Saad al Ghamidi.
19 desember 2011. 22.28 WITA

"Seperti yang di ceritakan oleh narasumber.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar